"Kita sampaikan kepada mereka kerjasama teknologi itu memiliki prospek yang bagus, terutama dari segi bisnis," kata Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Marzan Aziz Iskandar di sela membuka Indonesia-China Coal Summit di Nusa Dua, Bali, Selasa (19/3).
Menurut dia, sekitar 60 persen batu bara yang diproduksi dari eksplorasi Indonesia masih berupa batu bara muda atau browncoal sehingga kualitasnya kurang bagus. Untuk bisa menaikkan kalori batu bara tersebut, dibutuhkan teknologi baru.
Dia mencontohkan, satu unit teknologi dibutuhkan investasi senilai USD 35 juta untuk bisa menghasilkan 800.000 ton batu bara per tahun. "Belum teknologi lainnya untuk mengkonversi batu bara menjadi gas, pencairan batu bara dan lainnya," imbuh dia.
Ekspor batu bara Indonesia ke China telah memenuhi 40 persen kebutuhan impor batu bara negara Tirai Bambu tersebut.
Diprediksi ekspor batu bara Indonesia akan terus meningkat di masa mendatang. Perkiraan itu terutama dipicu oleh tingginya permintaan batu bara China sekitar 4,5 miliar ton pada 2020.
"Produksi batu bara Indonesia mencapai 500 miliar ton pada 2020 dan diprediksikan akan tetap menjadi leader dalam perdagangan batu bara dunia hingga 10 tahun mendatang," kata Tri Marjoko, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perdagangan.
Ketua Kehormatan China Coal Transport and Distribution Association (CCTD) Liu Caiying mengatakan, China dan Indonesia sama-sama merupakan pemain penting karena sebagai produsen sekaligus konsumen besar batu bara. "Stabilitas supply dan demand tetap harus dijaga," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar